Oleh: Vic Sundesk
“Kita harus menjalin kembali koneksi antarindividu dan membangun visi yang jelas secara bersama-sama. Di situlah kekuatan ketahanan sejati berada”.
Tanpa basa-basi, mari kita hadapi kenyataan: kita semua mungkin berperang di front yang berbeda, tapi ada satu hal yang mengikat kita—kecemasan kolektif yang merobek-robek jiwa kita. Dunia sedang terbakar, dan kita semua merasakannya. Malapetaka berkecamuk di mana-mana, merusak setiap harapan yang kita punya untuk maju. Ada yang terjebak dalam ilusi palsu, yang lain melawan dengan segala tenaga, sementara beberapa memilih diam, membiarkan kekacauan berlalu begitu saja. Tapi inilah inti dari segala masalah—kita harus mengenal siapa kita, baik sebagai individu maupun sebagai manusia di tengah kekacauan ini..
Apa pun generasi kita—X, Y, Z, millennial, atau boomer—kita berbagi pengalaman yang berbeda tapi saling terkait. Hari ini, mungkin kita sudah lupa detail peristiwa 9/11, tapi kita ingat resesi yang menyusul, dan dampaknya pada kehidupan kita. Sama seperti peristiwa ’98 di Indonesia, saat mahasiswa menggulingkan Soeharto. Transisi ke pemerintahan BJ Habibie masih membekas, meski nostalgia terkadang melumpuhkan.
“Seandainya gue bisa kembali ke masa itu,” mungkin sering terlintas. Tapi masa remaja kita adalah kebangkitan menghadapi kenyataan. Kita tumbuh dengan kesehatan mental yang goyah dan dunia yang penuh perang jadi konsumsi harian: demonstrasi, konflik, kriminalisasi, pembunuhan—berita yang kita telan tiap hari.
Ngomongin Sistem yang Keparat
Majalah The Economist pernah menggambarkan Generasi Z sebagai generasi yang lebih berpendidikan dan berperilaku baik. Namun, banyak di antara kita yang merasa tertekan, bahkan depresi. Meskipun begitu, banyak dari kita yang berpikiran terbuka dan penuh kasih. Kita sadar tantangan hidup semakin berat, terutama dalam mencapai stabilitas. Pekerjaan yang layak, penghasilan yang cukup, atau sekadar kestabilan finansial kini terasa seperti mimpi—bahkan bagi sebagian orang, itu terdengar seperti utopia.
Kita memahami tekanan yang kita hadapi, apalagi untuk hal-hal yang kita sukai. Stabilitas hidup, pekerjaan layak, atau gaji yang memadai sering kali hanya menjadi angan-angan. Sistem ini terasa tidak adil—sekeras apa pun kita berusaha, rasanya selalu ada yang menghalangi. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, sistem ini tetap mempecundangi kita.
Tidak semua dari kita mempedulikan kerusuhan sipil, baik yang terjadi secara lokal maupun global. Korupsi terus merajalela, kejahatan tumbuh subur, perang tak kunjung usai, dan ketidaksetaraan semakin menjadi-jadi. Generasi kita sering kali tidak menyadari beban yang kita pikul, atau kalau pun sadar, tindakan nyata jarang dilakukan. Orang tua kita sering menganggap dunia berjalan seperti ini karena sudah “takdir.” Mereka berkata, “Ya udah, hidup emang begini. Mau gimana lagi?”
Kita merasa terperangkap tanpa suara. Pandemi yang melanda beberapa tahun lalu hanya memperparah keadaan. Aktivitas sederhana seperti nongkrong pun jadi kemewahan. Bahkan untuk sekadar keluar rumah, kita harus mengenakan masker.
“Yuhuu~ Pandemic, what a wonderful life~”
Kecemasan kolektif ini juga meresap ke dalam masalah lingkungan yang semakin mendesak. Krisis iklim merupakan salah satu manifestasi paling jelas dari ketidakstabilan global yang kita hadapi saat ini.
Ngomongin Krisis Iklim
Oke sekarang kita lanjutin ‘kupas kuningan’ ini, yang pertama tentang iklim. Menurut Natural Science, kemungkinan bencana besar yang akan melanda bumi dalam beberapa dekade mendatang adalah sekitar 90%. Pada tahun 2050, 90% populasi makanan laut kita akan menghadapi kehancuran.
Lu nggak usah sok-sokan makan seafood nanti tahun 2050, karena kemungkinan besar bakal jadi barang langka. Jika tren ini terus berlanjut, sekitar 25% populasi dunia yang bergantung pada ikan, akan kesulitan. Permukaan laut diprediksi naik antara 1 hingga 3 meter pada abad ini, dan beberapa wilayah akan menghadapi kekeringan ekstrem. Daerah yang dulunya nggak ada gurun, sekarang bisa berubah menjadi gurun. Sebaliknya, daerah yang dulunya gersang mungkin saja akan hijau menjadi kebun.
Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan—kita sudah mengalaminya. Bencana ini sedang berlangsung, dan bahkan jika kita mencapai Zero Carbon Emission, pemanasan global masih akan terus terjadi selama beberapa dekade. Menyedihkannya lagi, untuk benar-benar mencapai net zero carbon, dibutuhkan lebih dari 30 tahun. Agar suhu global tidak naik lebih dari 2°C, emisi harus dikurangi setengahnya antara tahun 2020 dan 2030.
Dampaknya? Kita mungkin kehilangan hutan Amazon, Antartika, Arktik, dan beberapa daerah kepulauan. Jika suhu bumi naik lebih dari 2°C, kenaikan menuju 4°C akan semakin cepat akibat tipping points dan feedback loops. Tipping point adalah ambang batas kritis ketika iklim berubah drastis dari satu keadaan stabil ke yang lain. Sementara feedback loop terjadi ketika satu perubahan memicu perubahan lain yang memperkuat perubahan awal, seperti air yang semakin cepat mendidih karena uap yang memanaskan tutup panci, mempercepat proses pemanasan.
“Lu tau nggak? Dunia yang lebih panas 4°C bakal jadi tempat yang nggak layak huni bagi miliaran orang. :’) Yup, itu berarti kiamat, bro! Kita harus segera deklarasikan keadaan darurat planet dan ambil tindakan ekstrem. Sementara itu, banyak orang di sekitar kita masih hidup dalam ‘waktu pinjaman’—terutama para boomer yang masih bertengkar soal sains, takut kalau pandangan mereka terbantahkan. Aah, begitulah dunia dan manusia-manusianya.
Keruntuhan sudah terjadi dan akan terus berlanjut. Bedanya cuma waktu dan tempat. Greenpeace pernah bilang, untuk melawan perubahan iklim, kita harus membangun gerakan akar rumput global, mendorong politisi untuk bertindak, dan memaksa perusahaan serta bank untuk mengubah arahnya.
Don’t you feel Naïve
Generasi kita tumbuh dengan tontonan distopia dari media, seperti Mad Max: Fury Road, Maze Runner, Hunger Games, Divergent, Snowpiercer, dan lainnya. Tapi sekarang, kita harus menghadapi kenyataan. Ini kehidupan nyata, kawan. Mungkin sedikit membosankan, nggak se-dramatis film-film Hollywood, tapi inilah saatnya kita bertindak. Percayalah, peradaban yang tidak berjalan sebagaimana mestinya pasti akan gagal, pasti akan runtuh. Menggabungkan peradaban dengan kapitalisme? Ah, sialan, kapitalisme itu menghancurkan!
Yang kita lakukan sekarang adalah menolak untuk mengakui masalah yang sebenarnya atau mungkin kita sedang berhadapan dengan solusi yang sejatinya ada di depan mata.
Gue paham kalau situasinya terasa berat, bahkan gravitasi masalah ini sulit dipahami sepenuhnya. Tapi meskipun begitu, gue akan mencoba apa pun yang terbaik untuk melawan ini. Kita nggak bisa terus-menerus memuja kemajuan, kapitalisme, dan pasar bebas. Ingat, kapal raksasa bernama “kemajuan” ini bukan nggak mungkin tenggelam.
Gue masih optimis, tapi kita harus ingat, nggak semua kemajuan dan teknologi itu baik bagi kemanusiaan atau planet kita. Standar hidup dan pertumbuhan ekonomi global hanyalah hasil dari peradaban industri yang menjarah, mencemari, mengimperialisasi, menciptakan kelas menengah sementara, sementara elit terus memperkuat kekuasaannya. Kita hidup dalam peradaban yang merayakan produksi tinggi, gaya hidup mewah, dan konsumsi besar-besaran yang jelas nggak akan bertahan lama.
Kemajuan masa lalu dibangun dengan ngorbanin masa depan. Tapi bagaimanapun juga masa depan itu ada ditangan kita. Ya Nggak sih?
Sekarang peradaban kita yang kompleks bergantung pada sumber energi yang berumur pendek yang resource-nya berkurang dengan cepat. Karena banyak dari kita mengagumi kapitalis, yang memegang prinsip keuntungan sebagai tujuan utama, dan bahkan nih ya ketika segala sesuatunya runtuh, kapitalis akan mencari cara untuk mendapatkan keuntungan; entah itu dari kelangkaan, krisis, bencana, dan bahkan dari konflik.
Sebagai bagian dari generasi yang menghadapi tantangan global, kita juga tidak bisa mengabaikan dampak dari sistem kapitalisme yang terus menerus menambah beban kita. Mari kita lihat lebih dalam bagaimana kapitalisme berperan dalam memperburuk krisis ini
Para Kapitalis Terus Mempermainkan Kita
Kapitalisme cukup pandai menghindari peluru untuk melarikan diri dari tantangan sementara untuk legitimasi dan kelangsungan hidupnya. Tidak ada tempat di Bumi yang luput dari dampak kapitalisme. Hasil dari dua abad karbon yang mengubah iklim, akan mendatangkan malapetaka bagi generasi yang akan datang. Sistem ini berkontribusi dengan meningkatnya ketidaksetaraan dan konsentrasi kekayaan, sementara kita di bagian bawah berjuang untuk bertahan hidup.
Secara global, sekitar 80 orang teratas memiliki lebih banyak kekayaan daripada 3,5 miliar orang terbawah, dan itu terjadi sebelum pandemi. Pada tahun 2017, 82% kekayaan global masuk ke 1% populasi. Mereka berkembang sejak lockdown, canggih memang. Kita kemudian seperti menyerahkan kebutuhan dasar kita pada perusahaan-perusahaan sehingga kaputalisme dapat mempertahankan kita sebagai kelas ekonomi bawah. Ini tragedi.
Kita akan menjadi orang-orang yang mengisi ranjang penjara untuk keuntungan dan mereka memukuli siapa saja yang berusaha bangkit, sementara pengusaha dan penguasa berdansa membajak uang pajak kita. What a cute life~
Mereka memuja pasar bebas, tetapi jarang mempertanyakan untuk siapa pasar itu benar-benar bebas. Tidak ada kebebasan di tengah kemiskinan atau perbudakan. Tidak ada kemerdekaan di udara tercemar atau air beracun. Kebebasan yang diklaim tidak lebih dari ilusi, karena semua yang kita butuhkan untuk bertahan telah diambil jauh sebelum kita lahir. Kapitalisme tidak lagi relevan untuk masyarakat dan planet ini.
Yang menyedihkan, kita sebenarnya punya kekuatan kolektif untuk menantang sistem dan krisis ini. Namun, kita terpecah oleh batasan dan kategori buatan. Kita tertekan oleh garis imajiner kelas dan negara, dikuasai oleh elit korup yang hanya peduli pada kekuasaan dan kekayaan. Ditambah lagi, banyak yang terjebak dalam narasi bahwa solusi A terlalu mahal dan solusi B terlalu sulit, seolah-olah kerusakan di masa depan hanyalah masalah biaya.
Segalanya terlihat suram, dan gue tidak ingin memberi lu kebohongan. Itu sebabnya gue bikin tulisan ini. Gue pantengin meme yang berseliweran, gue denger komedi yang muncul, gue liatin keresahan di twitter/x, gue lihat fyp tiktok, gue melihat banyak pembicaraan tentang harapan agar semuanya kembali normal dan semua kesuraman berakhir. Tapi, sayangnya, tidak sesederhana itu. Kita harus menghadapi kenyataan. Hal-hal baik sedang menurun. Gue Nggak bakal berbasa-basi di sini, tahun 2025 akan menjadi lebih buruk. Jadi apa yang kita lakukan?
Kita nggak bisa terus bertahan dengan ini. Beberapa orang tampaknya tidak bisa berhenti menikmati pencucian otak. Tak satupun dari kita yang kebal terhadap propaganda. Sekarang penolakan adalah tahap kesedihan dan kita semua berada pada tahap yang berbeda dari kesedihan kolektif kita, tetapi, kita nggak punya waktu untuk tinggal dalam penyangkalan.
Gue tidak dapat menemukan statistik yang tepat, atau statistik yang menyertakan Gen Alpha. Tetapi usia 15-24 tahun dan 5-14 tahun merupakan 32,27% dari populasi global. Jumlah gen z di tahun 2023 lebih dari 2,7 miliar orang, dan ada 2 miliar orang Gen Alpha. Secara kolektif, itu adalah kekuatan yang harus dipertimbangkan. Sepanjang sejarah dan diseluruh dunia kaum muda telah membuat banyak perubahan. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari perlawanan abad lalu.
Membangun Prinsip untuk Masa Depan
Kita nggak boleh lupa bahwa pertama dan terutama, kita adalah manusia. Identitas seperti bangsa, ras, dan agama hanyalah konstruksi sosial yang seharusnya sekunder dibandingkan esensi kemanusiaan kita. Kita perlu melampaui struktur yang memanipulasi hidup kita dan menolak segala bentuk propaganda yang memperkuat ketidakadilan. Untuk itu, kita harus bekerja sama melintasi batas-batas tersebut. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk berkumpul dan mengambil kendali atas nasib kita sendiri.
Untuk mengurangi dampak krisis ini, membongkar kapitalisme menjadi langkah penting—meski ini tugas yang besar. Sepanjang sejarah, peradaban kapitalis tidak pernah benar-benar berhasil. Pada akhirnya, kapitalisme selalu berujung pada kerusakan dan kehancuran, baik terhadap masyarakat maupun lingkungan.
Namun, masa depan kita, dari mana pun kita berasal, haruslah dibangun di atas prinsip pasca-pertumbuhan, pasca-kapitalis, pasca-industri, dan pasca-penindasan. Meskipun revolusi global mungkin tampak terlalu jauh dari jangkauan kita, masih ada ruang-ruang kecil untuk perubahan. Selalu ada tempat di mana kita bisa menciptakan, tinggal, mencintai, atau menolak. Saat ini, kita memiliki kesempatan untuk memperluas ruang-ruang tersebut.
Meskipun kapitalisme menciptakan banyak masalah, kita masih memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan positif. Energi kolektif yang kuat dan tindakan individu merupakan kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Energi Kolektif Adalah Harapan
Kita harus menjalin kembali koneksi antarindividu dan membangun visi yang jelas secara bersama-sama. Di situlah kekuatan ketahanan sejati berada. Dan kita akan sangat membutuhkan ketahanan untuk menghadapi apa yang akan datang.
Lihat sekelilingmu. Apakah ada orang di komunitasmu yang ahli dalam perbengkelan? Tukang servis elektronik? Apakah ada tukang kebun, juru masak, atau orang yang ahli dalam daur ulang sampah? Ada yang fokus pada penyaringan air, distribusi pangan, sanitasi, atau pengawetan makanan? Yang paling penting sekarang, menurut saya, adalah pengembangan obat-obatan. Sangat krusial, karena kita tentu tidak ingin orang meninggal karena penyakit-penyakit yang seharusnya sudah bisa diatasi sejak abad ke-18, bukan?
Belajarlah sebanyak mungkin dari orang-orang di sekitarmu dan bekerjalah bersama. Kumpulkan buku dan sumber daya. Pikirkan bagaimana kamu dapat mengkhususkan diri untuk membantu komunitas. Mungkin kamu bisa fokus pada pertolongan pertama, pemeliharaan hewan, atau budidaya tanaman. Berinvestasilah dalam keberlanjutan dan bangunlah jaringan yang saling terkoneksi. Pada dasarnya, kita adalah makhluk sosial. Inilah cara kita berhasil bertahan selama ini—dalam kelompok yang erat, kita sangat baik dalam memecahkan masalah. Jika kamu butuh tempat untuk memulai, mulailah dengan teman-teman terdekatmu.
Bagikan tulisan ini, gali pengetahuan yang luas di luar sana, dan mulailah berkarya. Membangun komunitas lokal, menghasilkan secara lokal, dan memenuhi kebutuhan lokal. Kita bisa kembali ke komunitas semi-otonom yang dibangun atas dasar konsensus dan hubungan kekerabatan yang kita pilih sendiri. Muaaah, BANGSAT MANA ROKO ABIS ! dah ah..
Selamat Hari Apapun.