Oleh: Habieb Aulia Sufi
Mama-mu dan mamaku pasti menyadari setiap kali harga barang-barang di dalam keranjang anyamannya (basket of goods) itu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Atau kalau kamu cukup beruntung pernah mendapati ibumu mengomeli tukang ojek langganannya karena telah menaikkan ongkos.
Salah satu hal yang paling saya rindukan dari rumah adalah masakan mama, juga keleluasaan untuk bisa makan sepuas-puasnya. Kerinduan itu agak ironis, mengingat dulu ketika masih tinggal di rumah, saya malah biasa-biasa saja dengan masakan beliau. Malah tak jarang saya protes kalau perempuan yang saya cintai itu memasak lauk yang bukan favorit saya, walaupun tidak sedikitpun kekecewaan itu mengurangi selera makan saya yang selalu bagus.
Salah satu hal yang paling sering menjadi bahan protes saya threads masakan mama adalah nasi. Saya sering menemukan beliau menanak nasi yang beraroma tidak sedap dan berwarna agak kekuningan.
Saya terpaksa harus menahan napas ketika menyalin nasi dari magicom. Tapi mama saya tak pernah kehabisan akal. Dia memasukkan daun pandan ke dalam alat elektronik itu, menyiasati bau yang tidak sedap.
Saat sudah mulai ber-otak sedikit, saya akhirnya mengetahui bahwa nasi yang baunya bikin mual itu adalah raskin (beras miskin).
Melihat kondisi seperti itu, sulit membayangkan anak berumur 9 tahun akan menyalahkan puncak runtuhnya saham properti di Amerika sebagai penyebab menguningnya nasi di piring makannya. Karena saat itu si bocil sering memakai celana kebesaran dan masih perlu dibantu untuk mengelap ingusnya. Pastinya dia juga tidak tahu apa-apa tentang kemiskinan struktural, rasio gini, makroekonomi, apalagi inflasi.
Pengalaman itu barangkali yang sangat menempel di kepala saya saat bicara bagaimana inflasi mempengaruhi kehidupan personal. Dan saya cukup yakin, para bocil seumuran saya yang berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah, merasakan pengalaman yang sama.
Ikat Pinggang Para Ayah
Pada masa itu ikat pinggang para ayah tidak hanya berfungsi sebagai pengencang celana, tapi juga mencegah para bocil seperti saya untuk tantrum. Mereka yang agak bijak barangkali bisa mengalah dengan berhenti, mengurangi, atau setidaknya mengganti merek rokok mereka. Tentu saja ayah saya tidak termasuk di golongan mereka yang bijak tersebut. Tidak pernah saya melihatnya mengganti Dji Sam Soe-nya dengan Sampoerna Ijo atau Lintang 6 yang jelas jauh lebih murah.
Memangnya ada apa dengan rokok? Dan apa pula salahnya para ayah lebih memilih untuk mengayunkan ikat pinggang ketimbang menurunkan selera tembakaunya?
Bagi 25,9 juta penduduk miskin Indonesia, rokok is a big deal. Dalam Profil Kemiskinan di Indonesia yang dirilis oleh BPS pada tahun 2023 lalu, kontributor kemiskinan terbesar di Indonesia untuk komoditas makanan adalah beras (tentu saja) dengan persentase sebesar 19,35% di daerah urban, dan 23,73% di pedesaan. Sedangkan kontributor terbesar kedua adalah rokok (bisa-bisanya, ya) dengan persentase sebesar 12,14%. Menyusul telur, mi instan, dan kopi. Tidak pernah ada orang gila manapun yang memakan sepiring nasi berlaukkan tembakau, tapi itulah datanya.
Komoditas “makanan” yang berkontribusi pada garis kemiskinan itu maksudnya adalah; jika ada seorang buruh serabutan yang menerima upah Rp100.000,00 per hari, maka di dalam rencana keuangan jangka pendek yang ada di kepalanya, ia akan mengalokasikan uang tersebut yang pertama untuk membeli beras, kemudian rokok, kemudian baru kebutuhan lainnya.
Sebagai seorang perokok yang juga miskin, saya bisa memahami perilaku buruk tersebut. Saya akhirnya merasakan apa yang dirasakan ayah saya dulu, ya kali ga ngrokok.
Kemudian yang membuat saya bertanya-tanya adalah, bukankah harga rokok itu selalu naik, ya? Saya kemudian penasaran tentang bagaimana ayah saya dan ayah-ayah lainnya bisa bertahan selama ini, melewati berbagai macam inflasi dan resesi, dengan tetap menjaga nyala sebatang kretek di kedua jarinya.
Nanya Inflasi ke ChatGPT
Saya bertanya kepada Chatgpt dengan nge-prompt, “Temanku GPT, satu kalimat saja tentang apa itu inflasi?” Dia kemudian menjawab, “Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.”
Sekitar 10 tahun yang lalu, saat pertama kali mencoba rokok, harga merk Sampoerna itu sebatang hanya Rp1.000,00. Namun, sekarang dengan uang Rp5.000,00 hanya dapat 2 batang, naik sekitar 250% dalam kurun waktu 10 tahun. Hal ini juga terjadi pada Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pada tahun 2015, pertalite pertama kali muncul dengan harga Rp8.400 per liter, setelah 7 tahun tepatnya pada bulan September 2022, pemerintah menetapkan harga jenis yang sama menjadi Rp10.000,00.
Saya bertanya lagi kepada bestie saya, GPT. “Inflasi itu bikin kita boncos ya?”
Selayaknya bestie yang baik, ia menjawab sekaligus memberikan nasehat.
“Betul sekali! Inflasi itu seperti angin yang mengempiskan dompet kita. Ketika harga-harga barang dan jasa terus naik, daya beli uang kita semakin menurun. Jadi, penting banget untuk memahami inflasi dan mengatur keuangan dengan bijak agar dompet tetap tebal meskipun angin inflasi bertiup!”
Saya menerima nasehat itu. Kekhawatiran terhadap masa depan itu bukanlah hal yang berlebihan, tentunya selama kita melakukan hal-hal yang perlu, misalnya: memahami apa yang menyebabkan inflasi terjadi.
Too Much Money, Chasing Too Few Goods
Terlalu banyak uang mengejar, terlalu sedikit barang. Kondisi ini menurut saya sangat mendasar terkait sebab-musabab munculnya inflasi. Untuk memahaminya perhatikan cerita berikut :
Saya menjual aneka gorengan di Jalan Lintas Sitinjau Lauik, tiap gorengan saya jual seribu rupiah, kecuali pisang goreng, saya pasang harga dua ribu. Namun, suatu hari cuaca buruk di tanjakan-penurunan maut itu. Jalanan macet, pengguna jalan mulai kelaparan dan kesulitan mencari makan, gorengan saya membuat mereka tergiur.
Bencana longsor menyebabkan saya kebanjiran pesanan, kemudian saya memutuskan untuk menaikkan sedikit harga gorengan saya menjadi 5000 rupiah untuk 4 buah gorengan, harga pisang tidak saya naikkan Karen kurang populer. Ini bukan karena saya ingin memanfaatkan situasi, tetapi karena biaya produksi dan pengiriman yang meningkat akibat bencana. Biaya produksi saya meningkat dan margin keuntungan saya masih akan tetap sama jika saya menaikkan harga. Saya berharap pelanggan memahami situasi ini. Too much money, chasing too few goods.
Dalam konteks global, contohnya seperti kasus Ukraina yang merupakan salah satu eksportir biji-bijian terbesar di dunia sehingga dikenal sebagai “keranjang roti dunia”. Saat perang dengan Rusia memanas, biji-bijian yang keluar dari Ukraina jadi terhambat, harga biji melambung yang berakibat pada kenaikan harga pangan global.
Too much money, chasing too few goods itu terjadi kapanpun, dimanapun, dan di belahan bumi manapun. Kedua contoh itu barangkali memunculkan pikiran di kepala anda, mengenai hukum permintaan dan penawaran, dan saya yakinkan anda bahwa itu benar.
Barangkali, anda juga ingat saat pandemi covid-19 lalu, harga masker naik, harga vitamin naik, karena saat itu terlalu banyak uang mengejar terlalu sedikit barang. Kalau kata para ekonom, teori permintaan dan penawaran itu adalah hal yang paling fundamental dari bagaimana ekonomi bekerja, dan teori lainnya yang datang setelah itu hanyalah catatan kakinya saja.
Masih ingat ga apa saja yang ada di dalam keranjang ibumu saat ia kembali dari pasar? 1 liter minyak goreng, 3 kg ayam potong, 4 kg cabe merah, tahu, tempe, 2 kg gula, sayur-mayur, tomat, bawang dan langkok-langkok barangkali? Kemudian apakah ibumu naik ojek?
Basket of Goods
Mama-mu dan mamaku pasti menyadari setiap kali harga barang-barang di dalam keranjang anyamannya (basket of goods) itu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Atau kalau kamu cukup beruntung pernah mendapati ibumu mengomeli tukang ojek langganannya karena telah menaikkan ongkos.
Perubahan harga-harga tersebut tak jarang mempengaruhi keinginan berbelanja mama-mama kita. Perubahan harga tersebut juga mempengaruhi komposisi meja makan dan dapur kita di rumah. Itulah yang disebut sebagai Consumer Price Index (CPI), yaitu bagaimana harga-harga barang dan jasa berubah dari waktu ke waktu, dan bagaimana perubahan ini mempengaruhi daya beli masyarakat.
Tuh lihat tuh grafiknya, keliatan kan gimana CPI dan Inflasi itu saling berkorelasi positif.
Keduanya punya pola yang relatif sama untuk jangka panjang, bahkan suatu waktu bisa saling berhimpitan. Karena sederhananya begini, bayangkan harga BBM naik hari ini, menyebabkan biaya distribusi bawang, cabe, dan kol dari Alahan Panjang Kabupaten Solok ke Pasar Raya Kota Padang juga naik.
Agar tidak merugi, para distributor menaikkan harga muatannya sehingga para pedagang sayur harus mengeluarkan modal ekstra. Dan pada keesokan paginya kita akan mendapati isi keranjang belanja emak-emak berkurang, atau tetap sama namun dengan wajah yang manyun.
Kenaikan harga BBM (inflasi) menyebabkan naiknya harga bahan-bahan pangan (CPI), kemudian mempengaruhi daya beli masyarakat, dan membuat mak-mak badmood seharian.
Dalam keadaan perekonomian yang sehat, Bank Indonesia menetapkan target inflasi itu sebesar 3% + 1. Dan benar, selama sepuluh tahun terakhir (2014-2023) rata-rata inflasi tahunan Indonesia itu sebesar 3,5%. Namun kesalahan awamnya adalah orang cenderung mengabaikan kenaikan harga, karena volatilitas grafiknya yang segitu-segitu aja.
Ketidak-ngeh-an itu juga merupakan kesalahan yang sering dilakukan oleh para investor pemula, yaitu melupakan suatu perhitungan matematis terkenal yang disebut dengan “Exponential Growth” atau Pertumbuhan Eksponensial.
Misalnya nih, rokok saya Marlboro merah, pada tahun 2015 per bungkusnya itu Rp25.000,00, dengan rata-rata inflasi tahunan sebesar 3%, maka pada tahun depan harganya bisa jadi membesar jadi Rp33.598,00. Itu belum termasuk cukai rokok yang terus naik. Itulah Exponential Growth.
Apakah pendapatan saya bisa menyaingi laju kenaikan rokok tersebut?
Sekarang Mari Kita Bandingkan dengan Pendapatan
Akhir-akhir ini harga Marlboro itu sudah tidak masuk akal: 40 ribuan, cuy. Lidah dan paru-paru saya akhirnya sudah mulai terbiasa dengan Commodore dan Manchester. Rokok pahit yang masih ramah kelas proletar.
Saya capek menyalahkan inflasi dan cukai, karena nyatanya pendapatan saya tidak bisa menyaingi laju kenaikan harga–harga, sekalipun selera belanja saya ya gitu-gitu aja.
Menghisap Manchester itu sama halnya dengan dengan mama saya yang menambahkan pandan saat menanak nasi. Kreativitas dan pengetahuan kita pada sumber-sumber alternatif memang seringkali membantu kita untuk mengakali harga-harga yang melambung. Tapi mau sampai kapan?
Bersumberkan data dari BPS, saya mencoba membandingkan kenaikan harga rokok putih (rokok saya), pembalut, dan beras, terhadap kenaikan rata-rata upah buruh di Kota Padang selama sepuluh tahun terakhir. Berikut ini grafiknya:
Dalam grafik itu saya mau menunjukkan pola dari tren kenaikan harga-harga komoditas tersebut. Garis yang paling curam itu adalah rokok, sehingga kalau dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata upah buruh Kota Padang, maka hanya para buruh yang tidak tahu diri saja yang tetap menghisap Marlboro.
Selain dari rokok, kita juga bisa melihat bagaimana inflasi berdampak pada barang-barang yang lebih dekat dengan kita. Seperti pembalut misalnya. Harga rata-ratanya pada tahun 2019 adalah Rp7.834,00/pack, kemudian harga tersebut menjadi Rp9.163,00/pack pada tahun 2023.
Pada tren harga tersebut, kita bisa sedikit lega karena kenaikannya tidak begitu signifikan di Indonesia. Mengingat betapa pentingnya pembalut bagi perempuan, saya kira itu tidak begitu tinggi kenaikannya dan baik.
Saya sempat memindahkan data harga pembalut ke dalam grafik, saya sempat kecewa karena mendapati bahwa saya keliru. Kekeliruan saya karena sebelumnya saya menemukan sebuah studi yang menunjukkan di Amerika itu tren kenaikan harga pembalutnya cukup tinggi melebihi target inflasi yang ditetapkan oleh Federal Reserve Bank Central America, dan garis pembalut pada grafiknya mirip dengan garis rokok kita. Karena studi itu akhirnya saya berasumsi kalau di Indonesia barangkali punya tren kenaikan harga pembalut yang serupa dengan Amerika. Ternyata tidak.
Saya masih penasaran dengan pembalut, kemudian saya mencoba mencari tahu berapa sih pengeluaran rata-rata perempuan Indonesia untuk pembalut, dan juga berapa besaran proporsinya terhadap pendapatan perempuan.
Sebuah survei dilakukan oleh BBC di 18 negara Asia pada tahun 2019, menemukan fakta bahwa rata-rata perempuan Indonesia menghabiskan 1,7% dari gajinya untuk memenuhi kebutuhan menstruasi. Angka itu 20% lebih banyak dari rata-rata negara Asia lainnya. Ini berarti bahwa perempuan Indonesia mengeluarkan biaya 2 kali lipat lebih banyak dari perempuan Malaysia dan 7 kali lebih banyak dari perempuan Singapura.
Bagi saya analisis BBC itu setidaknya menunjukkan dua implikasi. Pertama, apakah karena rata-rata pendapatan perempuan Indonesia itu kecil. Kedua, apakah juga karena kebutuhan menstruasi itu tidak dianggap penting sehingga pemerintah tidak memberikan insentif yang berkenan.
Dan yah, yang bisa saya simpulkan dari grafik itu adalah, harga pembalut memang tidak securam rokok, namun mantan terindah saya dulu pernah berkata, “perubahan harga pembalut itu adalah hal yang paling membuatku notice tentang adanya inflasi.”
Jadi sekarang mesti gimana nih?
Yang hanya bisa saya katakan untuk menjawab pertanyaan itu adalah, yaa berarti kita harus meningkatkan produktivitas. Kembangkan skill yang kita miliki atau pelajari skill baru, banyak-banyak baca buku, ikut pelatihan ini pelatihan itu, belajar bahasa inggris, bangun networking atau bergaul dengan orang-orang yang lebih kaya dari kita, dan segala hal lainnya yang bisa berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas jangka panjang, deh.
Pada suatu episode Podcast Endgame, saya ingat Gita Wirjawan bilang begini, “mau inflasi kita itu 5% kek, 10% kek, 100% kek, kalau peningkatan produktivitas kita itu 1000% ya nggak ada soal.”
Maafkan saya karena tidak memberikan banyak effort pada kesimpulan tulisan ini, karena saya sendiri pun masih banyak tidak tahunya. Harapan saya semoga teman-teman ga hanya jadi tambah keren di tongkrongan, tapi setidaknya juga sudah memikirkan gimana caranya supaya lebih produktif, sekalipun resikonya bakal kehilangan teman tongkrongan.