Menjelang akhir 2007 terjadi polemik sengit di internet, melibatkan beberapa jurnalis muda, arsiparis muda dan pemerhati jurnalisme, hingga akademisi di Indonesia.
Semua bermula dari email Agung Dwi Hartanto, peneliti di Indexpress pada 6 Juni 2007 kepada Andreas Harsono. Dia adalah salah satu tim yang menyusun buku Seabad Pers Kebangsaan dan menyusun biografi singkat media-media yang tumbuh di Indonesia sejak pra kemerdekaan.
Isinya tentang permohonan izin menuliskan biografi singkat Yayasan sekaligus Majalah Pantau untuk penulisan buku Seabad Pers Indonesia pada Andreas Harsono, pendiri Yayasan Pantau. Selain itu dia juga menanyakan tentang sejarah Flores Pos yang sempat jurnalis berkulit putih itu tulis di blognya.
Sehari setelahnya pada 7 Juni 2007 Andreas membalas singkat, sekaligus tentang pertanyaan terkait metodologi Indexpress untuk pemilihan Pantau dan beberapa media.
“Terimakasih untuk emailnya. Kami senang Pantau masuk kategori organisasi yang diperhitungkan dalam proyek seabad pers Indonesia buatan Indexpress. Ini suatu penghargaan mengingat 100 tahun terakhir ada ribuan, bila tidak puluhan ribu, organisasi media di INdonesia,” katanya.
Selanjutnya dia menyebut rekannya Budi Setiyono dan Bonnie Triyana menganjurkan Andreas untuk melihat dulu konsep dan metodologi seleksinya. Beberapa pertanyaan muncul dari Andreas. Mengapa Pantau dan Flores Pos, mengapa bukan Mingguan Modus, Suara Perempuan Papua atau Harian Borneo Tribune?
Selanjutnya Andreas bertanya mengapa patokannya bukan 1744 atau mengapa bukan Tjahaja Sijang di Minahasa sejak 1868? Atau Soerat Chabar Betawie di Batavia (1858)? Mengapa patokannya Medan Prijaji?
Lantas Andreas menyebut beberapa rujukannya sebagai dasar:
(1) Abdurrachman Surjomihardjo (ed), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2002;
(2) David Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indie, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, 1996;
(3) Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annonated Bibliography, Association Archipel, Paris, 1981.
Pada 13 Juni Andreas membalas email Agung DH lebih panjang. Dia mempertanyakan pemilihan Tirto sebagai bapak pers, mengapa harus orang Jawa, padahal menurutnya koran-koran dari pelbagai suku sudah ada yang terbit jauh sebelum Medan Prijaji, termasuk yang diproduksi orang-orang tionhoa.
“Saya minta masukan beberapa rekan saya sebelum menjawab permintaan wawancara dari Indexpress untuk proyek “Seabad Pers Kebangsaan” atau “Seabad Pers Indonesia.” Kami dengan senang hati menjawab pertanyaan Anda. Kami juga membaca beberapa laporan Indexpress di harian Jurnal Nasional. Rasanya elok juga organisasi Pantau dipilih masuk dalam 365 media yang diberi label “kebangsaan” ini,” katanya.
“Saya menganggap tidak ada masalah dengan memilih Tirto Adhi Soerjo. Dia penerbit yang berani melawan ketidakadilan pada zaman Hindia Belanda. Pengarang Pramoedya Ananta Toer sudah menulis baik sekali soal Tirto Adhi Soerjo. Namun penelitian Indexpress ini bermasalah ketika mengabaikan wartawan lain dengan dasar Tirto dan Medan Prijaji (1907) adalah “pribumi.” Dasar pemilihan ini bisa mengarah pada rasialisme,” tulis Andreas.
Pada 2 Juli Zen RS membalas tulisan pendiri Yayasan Pantau itu dengan esai berjudul Nama Saya: Tirtoadhisoerjo: Tanggapan buat Andreas Harsono dari Yayasan Pantau (Jilid I).
“Kriteria “pribumi dan “non-pri” ini niscaya akan kembali ke permukaan dalam setiap embrio kemunculan gerakan perlawanan atas sebuah negara, khususnya dalam apa yang kita sebut sebagai “etno-nasionalisme, dalam segala artikulasinya, termasuk soal “rambut lurus” dan “rambut kriting” seperti yang anda singgung,” tulis Zen dalam blog lawasnya.
Dia menuliskan bahwa pribumi dan non-pri adalah satu subyek penting dalam perumusan nasion, baik dalam konteks nasionalisme maupun etno-nasionalisme. “Tetapi cukup jeasl juga, subjek “pribumi-non-pri” bukanlah satu-satunya subyek,” tulisnya.
Dengan argumen terkait sumber primer dan metodologi pemilihan koran-koran lawas, Zen mengatakan kuncinya terletak pada jargon koran Medan Prijaji: “Yang Terprentah”.
“Terprentah oleh siapa? Oleh pemerintah yang kolonialis dan rasis. Tirot sudah membayangkan seperti apa kebangsaan dalam bentuknya yang nyaris presisi, hanya meleset karena Indoensia mencaplok Timor yang tak terprentah oleh Belanda,” katanya.
“Saya harus bilang, debat di sidang I BPUPKI soal wilayah Indonesia hanya mengulang dari apa yang nyaris setengah abad sebelumnya sudah dirumuskan oleh Tirto,” katanya.
Menurut Zen nasionalisme selalu membentangkan demarkasi yang tegas antara “kami yang dijajah” dengan “mereka yang menjajah”. “Atau dalam kata-kata Tirto: antara “kami yang diprentah” dengan “mereka yang memrentah,” tulisnya.
Dia juga mengatakan membuka diri pada kemungkinan bahwa nama-nama yang dikutip Andreas dari Ben Andersn juga bekerja demi kebenaran.
“Tetapi jika dan hanya jika Anda membaca dengan cermat teks-teks yang dihasilkan Tirto dan bukan memasrahkan argumen Anda pada teks-teks sekunder (entah itu Ben, Salmon atau Dhakidae), Anda baru punya peluang untuk menyadari betapa berbedanya bahasa Melayu yang digunakan Tirto dengan yang digunakan oleh nama-nama yang Anda comot dari Ben Anderson, apalagi dari (apa boleh buat) bahasa Melayu yang digunakan oleh Kwee Kek Beng,” tulisnya.
Pada 14 Juli pendiri Pandit Footbal ini melanjutkan esai balasannya. Judulnya Sahaja adalah Orang dari Bangsa jang Terprentah!: Tanggapan untuk Andreas Harsono dary Yayasan Pantau (Jilid II).
“Jika semangat Ben Anderson bisa dikutip di sini, saya berani bilang, dari sinilah asal-usul “ruang imajinatif” bernama Indonesia berhulu. Dengan rumusan “bangsa yang terprentah” inilah pembayangan,” katanya dalam esai lanjutan itu.
Pada 16 September muncul respon dari jurnalis di Padang, Sumatera Barat; Nasrul Azwar. Respon ini terbit di Harian Padang Ekspres. Judulnya Sejarah Pers Sumbar dialih Orang Lalu.
“Dari catatan sejarah dan tarikh keberadaan dunia pers di Sumatra Barat, tampaknya, kehadiran surat kabar Medan Prijaji (1907) yang lahir di Bandung (Jawa Barat) masih muda dibanding surat-surat kabar yang sudah terbit di Minangkabau sebelumnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, alasan apa sesungguhnya menempatkan awal lahirnya Medan Prijaji tahun 1907 sebagai tarikh lahirnya pers nasional, yang kini (tahun 2007) diperingati sebagai “satu abad pers nasional”?” katanya dalam salah satu bagian tulisan itu.
Namun pada akhir tulisan jurnalis yang kerap disapa Mak Naih ini juga mengkritik sejarawan-sejarawan Sumatera Barat yang hanya fokus ke proyke-proyek dan tidak ada melakukan penelitian serius soal ini. Sejarah pers mereka seperti diambil saja sama orang, begitu kira-kira.
(bersambung)