oleh: A. Muawal Hasan
Prabowo-Gibran menang–setidaknya demikian menurut hasil quick count, yang jika berkaca dari pilpres sebelumnya, tidak jauh berbeda dengan hasil real count. Jadi mari kita bahas program mereka yang sampai sekarang masih bikin saya garuk-garuk kepala: susu gratis.
Saat pertama kali mendengarnya, memori saya loncat ke diare yang pernah menggegerkan acara kumpul keluarga.
Kejadiannya saat Lebaran beberapa tahun yang lalu. Seorang keponakan yang berusia 5 tahun–sebut saja A–tiba-tiba merasakan nyeri di perutnya. Ia juga merasa mual dan kembung yang tak tertahankan. Ibunya panik. Apalagi kemudian A memuntahkan cairan yang kental dan berwarna putih. Ia pun dibawa ke toilet, dan buang air seperti terkena gejala diare.
Usut punya usut, ternyata saudaranya memberi A susu kemasan. Padahal dia dilarang mengonsumsi susu atau produk turunannya. Nah, karena Ibunya tidak pernah membawanya ke dokter, saya cuma bisa curiga: dia alergi susu, atau mengidap intoleransi laktosa (Lactose intolerance).
Masalahnya, A bukan satu-satunya. Ada banyak anak dan remaja di Indonesia yang mengalami kondisi serupa, dan pada akhirnya bikin saya skeptis terhadap program susu gratis.
Kaum “Intoleran” di Sekitar Kita
Apakah alergi susu dan intoleransi laktosa adalah kondisi yang sama?
Tidak. Ini adalah miskonsepsi yang umum.
Alergi susu diakibatkan oleh sistem kekebalan tubuh yang tidak bekerja secara normal. Akibatnya, tubuh akan menganggap protein yang terdapat dalam susu–terutama susu sapi–sebagai hal yang berbahaya. Kondisi ini kemudian memunculkan gejala seperti ruam di kulit, pembengkakan bibir dan sekitar mata, muntah, hingga batuk-pilek.
Nah, intoleransi laktosa sendiri berkaitan dengan sistem pencernaan. Penyebabnya usus kecil yang kebetulan tidak mampu menghasilkan enzim laktase. Padahal enzim ini berguna untuk mencerna laktosa, alias gula alami yang terkandung dalam susu.
Gejalanya gimana? Jika alergi susu terasa di seluruh tubuh, intoleransi laktosa hanya di area perut. Antara lain: kembung, nyeri, mual, muntah, dan kalau agak parah, ya diare.
Sayangnya, alergi susu dan intoleransi laktosa seperti banyak yang meremehkan di Indonesia. Ini sebenarnya kecenderungan khas masyarakat Asia. Komedian Nigel Ng sampai pernah bercanda: bagi para orang tua di Asia, tidak ada yang namanya pengidap “alergi”, yang ada hanyalah orang-orang lemah (tertawa miris~).
Pertanyaannya, sebanyak itukah orang-orang Indonesia yang seharusnya tidak minum susu? Terutama di kalangan anak-anak yang nanti akan menjadi target program susu gratis?
Mari kita baca hasil riset Badriul Hegar dan Ariani Widodo yang dirilis di Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition (2015). Kedua peneliti asal UI itu menganalisis data anak Indonesia usia 3-15 tahun, yang terekam sepanjang dua dekade, dengan menggunakan tes toleransi laktosa murni.
Hasilnya: 21,3 persen anak usia PAUD (3-5 tahun) mengidap malabsorpsi laktosa (penyebab intoleransi laktosa). Persentasenya naik pada anak usia SD (6-11 tahun), yakni sebesar 57,8 persen. Bagaimana dengan anak usia SMP (12-14 tahun)? Ternyata jadi yang paling tinggi, yaitu sebesar 73 persen.
Badriul dan Ariani memaparkan, gejala intoleransi laktosa yang paling sering dihadapi anak-anak ini adalah nyeri perut. Berturut-turut kemudian adalah perut kembung, mual, dan diare, yang mayoritas mereka rasakan satu jam setelah mengkonsumsi susu.
Menurut Alomedika, 68 persen warga dunia mengalami intoleransi laktosa. Menariknya, prevalensi di tiap wilayah beda-beda. Misalnya, defisiensi laktase primer pada dewasa dan anak berusia di atas 6 tahun di Eropa cuma 19-37 persen.
Tebak berapa angkanya di Asia?
Yak: 80-100 persen.
Angka-angka itu menunjukkan ketahanan perut manusia terpengaruh oleh apa yang mereka konsumsi.
Orang Asia tidak banyak menggunakan susu dalam hidangan mereka. Sedangkan orang Eropa mengkonsumsi susu dan segala produk turunannya dalam jumlah yang tinggi. Tubuh mereka akhirnya bermutasi, dan mampu menghasilkan enzim laktase secara lebih optimal.
Yang Wajib itu Ibadah, Bukan Minum Susu
Pada akhirnya persoalan program susu gratis bukan hanya pada sisi pengadaannya, yang kemungkinan akan mengandalkan produk impor (seperti yang dipaparkan disini), tapi juga target konsumennya.
Fun fact: manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang minum susu sampai usia dewasa. Susu yang diminum pun berasal dari hewan lain. Cairan putih ini menjadi bagian dari “diet” manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Namun bukan berarti manusia tidak bisa hidup tanpa susu.
Mengutip laporan Kompas, susu dianggap sebagai bahan pangan yang sakral akibat efek globalisasi dan industrialisasi. Minum susu tidak dikenal luas di Nusantara. Kebiasaan ini baru dikenalkan Belanda pada abad ke-19.
Pada tahun 1950, Prof. Poerwo Soedarmo memperkenalkan “4 Sehat 5 Sempurna”. Konsep ini jadi pedoman agar masyarakat Indonesia bisa terpenuhi gizinya. Susunannya antara lain: makanan pokok, lauk-pauk, sayur-mayur, buah-buahan, dan disempurnakan dengan segelas susu.
Nah, pada tahun 1990-an, konsep 4 Sehat 5 Sempurna mulai dianggap kurang relevan dengan perkembangan ilmu gizi. Pemerintah sempat menggantinya dengan slogan “Isi Piringku”. Lalu pada 2014 mereka mulai mensosialisasikan Pedoman Gizi Seimbang (PGS).
PGS menekankan pada penyusunan makanan yang tidak hanya bergizi, tapi juga diatur jenis dan takarannya. Ini membuat isi piring masing-masing orang beda-beda, tergantung kondisi fisik, usia, jenis kelamin, hingga riwayat kesehatan. PGS juga memprioritaskan pola hidup bersih, pentingnya aktif, berolahraga, serta memantau berat badan ideal.
See? Susu tidak lagi diprioritaskan–setidaknya tidak secara eksplisit.
Lagipula Indonesia juga punya sumber pangan lokal lain yang kaya akan protein, kalsium, vitamin, dan nutrisi. Jika program susu gratis berdasarkan pada semangat 4 Sehat 5 Sempurna, bukankah itu sudah ketinggalan zaman?
Dalam visi-misinya, paslon 02 sebenarnya turut menjanjikan program gizi seimbang. Namun gaungnya tidak sebesar program susu gratis (yang mereka namai “Gerakan EMAS”, singkatan dari “emak-emak dan anak-anak minum susu”).
Alih-alih kebijakan yang solid, program susu gratis lebih terasa seperti gimmick. Dan jangan lupa, kita baru membedah sasaran programnya. Belum soal polemik mengatasi stunting, atau dari mana anggarannya yang konon mencapai triliunan itu.
Fyuh, lima tahun ke depan nampaknya bakal lebih melelahkan. Sehat-sehat, semuanya!
+++