Jaringan Peduli Perempuan (JPP) Sumatera Barat lakukan aksi simbolik kartu merah untuk Pengadilan Negeri Padang terkait hakim yang tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual/roehanaproject/Uyung Hamdani

Jaringan Peduli Perempuan Sumbar Nilai Hakim Pengadilan Negeri Padang Belum Sensitif Terhadap Korban Kekerasan Seksual 

 

Jaringan Peduli Perempuan (JPP) Sumatera Barat aksi di depan Pengadilan Negeri Padang menuntut agar lebih inklusif pada korban kekerasan seksual, pada Selasa (5/12/2023) lalu. 

 

Puluhan aktivis yang mengikuti aksi ini menyatakanbahwa hakim-hakim di Pengadilan Negeri Padang belum inklusif dan tidak memikirkan aspek pemulihan korban. 

 

Indira Suryani selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengatakan aksi ini memberikan simbol kartu merah terhadap Pengadilan Negeri Padang.

 

“Hal ini kami maksudkan agar Hakim-hakim di Pengadilan Negeri Padang berhenti melakukan tindakan stigma, stereotip, dan menyalahkan korban. Dalam mengadili kasus-kasus Perempuan Korban Kekerasan Fisik, Psikis, dan Seksual hakim harus melindungi korban,” katanya.

 

“Kami mendesak Hakim-hakim Pengadilan Negeri Padang untuk memahami dan mengimplementasikan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Sesungguhnya Pengadilan yang inklusif dan melindungi Korban adalah obat mujarab bagi pemulihan Korban. Hidup Korban,” tambahnya.

Indira Suryani direktur LBH Padang turut berorasi dalam menuntut Pengadilan Negeri Padang yang inklusif dan tidak mendiskreditkan korban kekerasan seksual dalam proses persidangan/roehanaproject/Uyung Hamdani
Indira Suryani direktur LBH Padang turut berorasi dalam menuntut Pengadilan Negeri Padang yang inklusif dan tidak mendiskreditkan korban kekerasan seksual dalam proses persidangan/roehanaproject/Uyung Hamdani

Dalam pasal 4 PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, hakim dalam persidangan harus mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi dengan menggali fakta-fakta persidangan. Pertama ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara wajib digali. Kedua, hakim harus menggali ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban. 

 

Ketiga, hakim juga wajib menggali ketidakberdayaan fisik, psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban atau saksi tidak berdaya.

 

Keempat, hakim wajib menggali riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban atau saksi. 

 

Selanjutnya adalam pasal 5 PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Hakim dilarang untuk melakukan empat hal.

 

Pertama, menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum;

 

Kedua, membenarkan terjadinya Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan menggunakan kebuadayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias Gender;

 

Ketiga, mempertanyakan dan atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan

 

Terakhir, mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.

 

Hakim Tak Paham Situasi Korban Kekerasan Seksual 

 

Direktur Women Crisis Center – Nurani Perempuan Rahmi Merry Yenti menyatakan dalam tiga tahun terakhir pihaknya melihat sikap dan pernyataan yang tidak pro terhadap korban.

 

 “Dalam 3 tahun terakhir, kami pendamping korban melihat dengan nyata sikap dan perkataan yang tidak pro korban,” kata Direktur Women Crisis Center – Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti.

 

Meri mengatakan pihaknya pernah mendapati hakim memarahi ibu dari korban kekerasan seksual dengan mempertanyakan sikap keluarga korban. Hakim mengatakan kenapa si anak tidak dinikahkan saja agar tidak terjadi kekerasan tersebut. 

 

“Padahal anak baru berusia 15 tahun,” katanya.

 

Selain itu dia mengatakan baru-baru ini hakim juga tidak mempercayai kesaksian dari korban kekerasan seksual berusia 16 tahun atas pernyataan terkait tindakan kekerasan seksual yang dialaminya. “Bahkan Hakim menanyakan kenapa korban, kenapa pasca mendapatkan kekerasan korban tetap kembali ke rumah pelaku yang merupakan tempat bernaungnya. Hakim mengatakan anak korban tidak trauma atas kejadian itu,” katanya.

 

Padahal situasinya menurut Meri korban yang masih anak-anak dan berkali-kali datang ke psikolog untuk memulihkan dirinya yang dibantu oleh pendamping. 

 

“Andai saja Hakim tahu korban merupakan yatim-piatu yang sudah bertahun-tahun hidup mandiri dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun dalam perspektif kami, kata-kata dan sikap itu sesungguhnya haruslah tidak terjadi di Pengadilan Negeri Padang, jika Hakim benar-benar memahami apa yang termaktub di dalam PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan Dengan Hukum,” katanya.



Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.