Kepulauan Mentawai adalah surga bagi para peselancar. Bagi turis internasional yang mencintai ombak-ombak besar. Namun dibalik itu ada kesulitan mendalam yang dialami masyarakatnya pada beberapa tempat: Krisis air.
Roehana memotret pada beberapa lokasi di dua pulau berbeda. Pada ibu kota kabupaten yaitu Tuapejat yang berada di Pulau Sipora dan Dusun Koritbuah di Desa Sinaka Kecamatan Pagai Selatan.
Dari pinggiran sampai ibukota Kabupaten
Ketakutan akan tsunami membuat sebagian masyarakat Dusun Sinaka di Pulau Simatapi melarikan diri ke lokasi yang lebih tinggi. Mereka pindah ke Dusun Koritbuah. Lantas pemerintah membangunkan posyandu serta sekolah di sana. Namun air yang penting untuk kehidupan mereka malah sulit.
Musim kemarau adalah waktu-waktu Nopri (28) dan ibu-ibu lain di Koritbuah berlelah-lelah ke sungai. Mereka harus mengangkat wadah air atau jeriken ke sungai yang jarak rumahnya dari ujung ke ujung desa. “Yang rumahnya dekat sungai tidak terlalu jauh ambilnya. Saya dari ujung sini ke ujung sana,” katanya.
Kalau pun musim hujan, dirinya dan kebanyakan ibu-ibu di sana hanya punya sedikit penampungan. “Paling tahan 3 hari,” katanya.
Ingat betul saat mau melahirkan anaknya, suami dari Nopri harus mencari air dulu untuk persalinan.
Selain itu Dewi yang juga ibu-ibu dari Koritbuah mengatakan tiap tahun ada musim sakit. “Kadang belum sampai sumur sudah mencret. Jadi setidaknya harus ada air di penampungan WC. Artinya ada air, gayung, tapi kalau nggak ada air terpaksa ke sungai,” katanya.
Lantas itu memaksa Martinus untuk menyediakan beberapa penampungan. Seperti tedmon dan saluran penampung hujan di atap agar langsung masuk ke tedmon. Selain itu juga beberapa drum untuk cadangan lain. Martinus adalah pengepul gurita, bagi masyarakat setempat dia cukup memiliki uang untuk membeli semua itu.
Sama halnya dengan Pinda Tangkas di Pulau Sipora, tepatnya di Tuapejat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dia memasang instalasi buatan sendiri untuk menampung air hujan dan menyaringnya yang menghabiskan anggaran jutaan rupiah. Padahal dia hidup di kota yang menurutnya seharusnya punya pengelolaan air yang ideal, tapi tidak juga.
Yosep Sarokdok selaku Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai mengatakan bahwa pemetaan sumber air ini masih ada perdebatan
“Ini masih belum tuntas RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) kita. Harusnya negara sudah petakan,” kata Yosep.
Dia mengatakan adanya izin-izin perusahaan kayu yang mempengaruhi kondisi sumber air harusnya benar-benar diperhatikan pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
“Sampai saat ini masih kesulitan air bersih karena tidak ada sumber air yang representatif yang layak dikonsumsi masyarakat di sipora, ini tolong diperhatikan dampak lingkungannya kedepan jadi jangan hanya mengambil kayu tanpa melihat dampak. Kemarin aja banjir setengah mati, baru hujan sebentar banjir,” katanya.
Perkantoran DPRD dan beberapa perkantoran sumber airnya selain dari PDAM juga dari air hujan. Yosep sendiri sebagai anggota DPRD yang sudah sepuluh tahun tinggal di Sipora mengatakan dirinya harus menghabiskan lebih dari satu juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.
Dia membeli satu tangki air seharga Rp 200.000 rupiah per tiga hari. Berarti dalam satu minggu Yosep habiskan 400.000 dan dalam empat minggu Rp1.600.000. Biaya itu belum termasuk pembelian air galon yang harganya Rp 10.000 satu galon isi ulang.
Dia meminta pemerintah provinsi betul-betul melihat urgensi adanya kebijakan-kebijakan yang mengancam sumber air di Mentawai.