Akhirman tak perlu lagi pergi jauh dari kampungnya untuk mencari kerja. Di luar kampungnya Akhirman bekerja apa saja. Pekerjaan yang tidak tetap itu membuat ia depresi. Begitu pekerjaan selesai ia harus pontang panting mencari pekerjaan baru yang rata-rata berdurasi singkat. “Dulu saya kerja apa saja sebab tak punya lahan untuk ditanam” ucap pria yang kumisnya diselingi uban ini.
Sekarang ia berkebun jagung di dekat rumah. Hasil panen jagungnya bisa menghidupi istri dan enam orang anaknya yang rata-rata masih sekolah. Bagi Akhirman tanah seluas lebih kurang seratus meter persegi itu sedikit demi sedikit mewujudkan mimpi-mimpinya yang tertunda sejak lama.
Sekitar dua menit perjalanan dari tempat Akhirman berada, Nurani, perempuan berusia 75 tahun sedang merajut asa bersama tiga anak perempuannya; Safrianis (56), Ratmayeni (47) dan Amrina rasyiada (38). Mereka anak beranak menanam jagung sekaligus pisang sebagai komoditas utama. Dulu mereka cuma buruh tani perusahaan sawit dengan upah lima tiga puluh ribu rupiah sehari.
“Jangankan membayangkan membeli motor, beli makan saja sudah susah,” kata Amrina, anak bungsu Nurani. Dua tahun Nurani dan anak-anaknya menggarap lahan, mereka bisa meningkatkan ekonomi keluarga mereka masing-masing.
Akhirman, Nurani dan anak-anaknya adalah warga Nagari Kapa kabupaten Pasaman Barat yang terlibat sengketa lahan dengan sebuah perusahaan sawit di Pasaman Barat. Bagi masyarakat Kapa, perusahaan itu telah melanggar batas tanah ulayat saat perusahaan melakukan penanaman bibit sawit. Sengketa ini menjadi permulaan masyarakat Kapa memblokade jalan masuk perusahaan untuk panen di wilayah yang mereka tanam dalam tanah ulayat Nagari Kapa.
“Dalam dokumen Hak Guna Usaha perusahaan hanya tercantum Nagari Sasak, tidak ada Nagari Kapa,” kata Syafiruddin (65).
Syafiruddin adalah tokoh masyarakat Kapa yang ikut dibawa bersama tiga orang lainnya ke kantor Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar) untuk dimintai keterangan saat terjadi bentrokan dengan pihak perusahaan. Bagi Syafiruddin, tanah ulayat Kapa sudah ada batas-batasnya yang diketahui oleh niniak mamak dan pemangku adat setempat.
“Sekarang batas-batas itu berupa parit-parit besar, jalan dan kebun jagung yang sengaja kami tanam untuk mempertegas batas tanah ulayat kami dengan area kebun sawit PT,” ujar Syafiruddin. Hari ini lahan sengketa antara masyarakat Kapa dengan korporasi itu masih dalam penyidikan ulang sebab masyarakat Kapa kembali melayangkan gugatan kepada perusahaan.
“Kami akan tetap berkebun dan menanam tanaman di tanah ulayat kami, karena ini adalah hak masyarakat Nagari Kapa untuk hidup di tanahnya sendiri” ucap Syafiruddin.
Persoalan sengketa lahan yang mereka alami di wilayah Pasaman Barat banyak terjadi antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Birokrasi yang tumpang tindih saling berpulun dan lambatnya penyelesaian menambah daftar sengketa agraria di Indonesia kian hari kian kusut dan menebal.
Konflik Tanah Ulayat Berlarut-larut, Ini Catatan Walhi
Walhi Sumatera Barat dan beberapa lembaga mencatat sebagai sampel ada 25 kasus konflik sawit yang berkepanjangan. Riset ini dilakukan bersama Universitas Andalas, KITLV Leiden, Universitas Wageningen, Lembaga Gemawan, Perkumpulan Scale Up, Walhi Kalimantan Tengah, Epistema Institute dan Huma.
Dalam 25 kasus itu terkadang satu kasus mengalami beberapa jenis konflik seperti penyerobotan lahan, permasalahan skema plasma, perkebunan melanggar peraturan, kompensasi tidak memadai, kondisi ketenagakerjaan dan lain-lain.
Persentasenya 16 kasus atau 64 persen kasus penyerobotan lahan, 20 persen perkebunan melanggar peraturan, 12 persen kompensasi tidak memadai, 8 persen masalah ketenagakerjaan, 4 persen lain-lain.
Walhi mencatat persentase tuntutan masyarakat secara umum.
Ada 14 kasus atau 56 persen kasus masyarakat meminta sebagian tanah mereka dikembalikan.
Selanjutnya ada 13 kasus atau 52 persen masyarakat menginginkan timbal balik lebih baik dari perkebunan seperti pembagian keuntungan yang lebih dari skema plasma.
Selanjutnya ada 20 persen kasus yang meminta kompensasi lebih baik di atas tanah mereka yang hilang.
Penolakan atas izin HGU dan non-HGU 20 persen, meminta pengukuran ulang batas perkebunan 16 persen dan 4 persen kasus masyarakat meminta kontribusi lebih banyak dari perusahaan seperti peluang kerja.
Beberapa kasus berlarut-larut seperti yang dialami Nagari Simpang Tigo Koto Baru Kabupaten Pasaman Barat dengan PT PMJ yang tak sudah-sudah sejak 1996. Syahrul Ramadhan Tanjung selaku ketua adat nagari tersebut betul-betul lelah dan juga sempat dikriminalisasi. Dia hanya ingin mendapatkan hak tanah untuk nagarinya agar masyarakatnya dapat memanfaatkan untuk kehidupan mereka.
Selain itu juga yang dialami Akhirman, Nurani dan anak-anaknya yang merupakan warga Nagari Kapa Kabupaten Pasaman Barat. Mereka berkonflik dengan perusahaan yang menurut mereka melanggar batas tanah ulayat mereka saat menanam sawit.
Ada banyak lagi daftar kasus yang berlarut-larut. Kasus-kasus ini terjadi kebanyakan di Pasaman Barat dan Kabupaten Agam.
Kepemilikan tanah ulayat komunal menjadi rentan. Pemerintah Sumatera Barat mencoba membuat regulasinya, bagaimana kelanjutannya?
Pengesahan Perda Tanah Ulayat Masih Menunggu Kementerian Dalam Negeri
Sejak awal tahun 2023 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat menggodok rancangan peraturan daerah atau ranperda tentang tanah ulayat. Setelah dikonfirmasi ke salah satu timnya ternyata pengerjaan masih menunggu finalisasi dari kementerian dalam negeri.
“Masih ada kemungkinan ada pasal yang perlu disempurnakan atau diubah dari kementerian,” kata Desrio Putra, Tim Pembahas rancangan perda ini dari Komisi I DPRD Provinsi Sumatera Barat, pada Kamis (17/8) lalu.
Dia bilang prioritas dalam peraturan ini adalah ulayat nagari. “Bukan ulayat kaum atau suku. Ulayat nagari bisa digunakan oleh pelbagai suku dalam nagari tersebut,” katanya. Karena menurutnya ulayat kaum atau suku punya aturan masing-masing dan untuk kaum masing-masing.
Selain itu dia mengatakan tujuan ranperda ini salah satunya memperjelas perjanjian inti plasma perusahaan dan masyarakat adat. Menurut politisi Gerindra ini kuncinya untuk melindungi hak masyarakat dalam ulayat nagari sehingga berdampak positif terhadap ekonomi dan kesejahteraan.
Dia mengatakan ulayat nagari di Sumatera Barat tersisa 8,4 persen. Kondisi itu menjadi dasar Komisi I DPRD Sumbar menginisiasi ranperda ini.
Pola Penguasaan Tanah Ulayat
Masnaidi selaku perwakilan masyarakat adat dari Nagari Malalo Tigo Jurai Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat mengatakan kepemilikan tanah ulayat mereka terbagi tiga sesuai statusnya.
Dia mengatakan secara umum penguasaan ulayat nagari dan struktur adatnya ada beberapa kesamaan.
Pertama tingkat kekerabatan suku dan status adatnya suku. Kedua status ulayat kaum dan terakhir tingkat kekerabatan nagari.
Tingkat kekerabatan nagari, statusnya ulayat nagari, struktur adatnya penghulu-penghulu suku yang ada di nagari atau penghulu pucuk.
Pola penguasaannya belum terbagi pada sebelas suku, berdimensi publik dan dikuasai oleh nagari. Pengaturan pengelolaan atas persetujuan penghulu-penghulu suku yang ada di nagari dan memperhatikan pertimbangan penghulu pucuk.
Bagaimana Menyelamatkan Tanah Ulayat?
Profesor hukum agraria Universitas Andalas Sumatera Barat Kurniawarman mengatakan kondisi tanah ulayat di Sumatera Barat ada dua. Tanah yang statusnya masih penuh di tangan masyarakat adat dan ada yang sudah beralih ke tangan investor atau perusahaan secara hukum.
“Tanah ulayat yang masih utuh adalah yang belum diserahkan atau diusahakan atau dimanfaatkan oleh pihak luar utamanya perusahaan,” kata pria berkacamata ini.
Dia mengatakan pada umumnya tanah yang masih utuh ini umumnya tidak dimanfaatkan dengan optimal. “Daerah-daerah yang kondisinya seperti ini umumnya daerah-daerah marjinal dan tidak menjadi sasaran investasi atau aktivitas ekonominya kurang tapi secara fisiknya juga mungkin kurang subur atau masuk dalam kawasan hutan,” katanya.
Meskipun kondisinya seperti itu Kurniawarman mengatakan tidak bisa dianggap aman-aman saja.
“Jadi kita tidak bisa menganggap aman-aman saja. Yang utuh ni di Sumatera Barat dari hasil inventarisasi indikatif tahun 2021 di Sumatera Barat, dikecualikan luasan Mentawai karena isu ulayatnya lebih khas, masih 10 persen yang utuh,” katanya.
Dia mengatakan para pemiliknya harus lebih waspada karena pergerakan korporasi yang sudah menghabiskan tanah ulayat di tempat lain, sekarang menyasar lokasi ini.
Kelompok pertama menurut Kurniawarman pemulihannya yaitu melakukan pendaftaran tanah ulayatnya atas nama kelompok masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan keamanan status tanah.
Dia mengatakan tanah ulayat yang diupayakan ATR BPN yaitu khusus tanah ulayat yang dalam artian memiliki fungsi publik. Yaitu tanah ulayat nagari, bukan suku. “Kalau suku lebih dari 80 persen dan sudah diamankan oleh kaum dan suku-sukunya. Sedangkan nagari yang posisinya rentan,” katanya.
Dia mengatakan ada 10 persen yang sudah mereka inventarisasi.
Dia mengatakan masyarakat harus mendaftarkannya. Sebab faktanya penyebab hilangnya tanah ulayat karena tidak didaftarkan sehingga gampang dicaplok baik dari luar maupun oknum warga nagarinya sendiri.
Selanjutnya ada kondisi tanah ulayat yang sudah beralih penguasaannya. Alias yang sudah terlanjur berkonflik dengan perusahaan.
“Jadi pertanyaannya kalau di kelompok kedua ini kita bicara konteks pemulihan tentu tidak serta merta, karena secara hukum tanah itu tidak lagi milik masyarakat hukum adat, dia sudah menjadi hak keperdataan berdasarkan jenis haknya, ummunya hgu, pertanyaannya siapa yang memegang otoritas HGU itu? Apakah pemegang otoritas HGU itu berkenan untuk mengembalikan ke masyarakat hukum adat, oleh karena itu tidak serta merta dia bisa dipulihkan,” kata pria berkacamata ini.
“Di sinilah arti penting adanya pengaturan,” katanya.
Dia mengatakan pemulihan tanah-tanah seperti ini hanya bisa dilakukan atas perintah putusan hakim. Masyarakat bisa menggugat karena bersengketa dan menang, selanjutnya hakimlah yang kemudian memerintahkan para pihak menyerahkan tanah itu ke masyarakat hukum adat. “Kalau ternyata proses HGU itu melawan hukum,” katanya.
Ada Proses Non-Yudisial yang Dapat Ditempuh
Kurniawarman mengatakan pemerintah dapat menempuh beberapa proses non-yudisial untuk pemulihan ini. Pertama melalui pelbagai macam program pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya.
“Salah satunya mungkin reforma agraria. Kalau dia dinyatakan tanah tersebut sebagai reforma agraria maka tentu pemerintah sudah punya kebijakan tidak memperpanjang HGU-nya sehingga bisa habis. Jadi kalau pemerintah punya niat mengembalikan dan memulihkan maka pemerintah bisa menetapkan tanah negara bekas HGU menjadi tanah objek reforma agraria atau TORA. Nanti melalui jalur itu bisa dianggap sebagai pemulihan,” katanya.
Meskipun begitu menurutnya harus jelas kepada siapa subjek dari pemulihan ini. Kurniawarman menekankan pada tanah ulayat nagari, bukan tanah ulayat suku atau kaum.
“Kalau diserahkan ke masyarakat hukum adat, saya rasa dia tidak membicarakan pemulihan yang sesungguhnya karena tanah ulayat itu kan aset nagari. Sumber nagari dalam memperoleh uang untuk mengurus rakyatnya,” katanya.
Melalui jalur non-yudisial lainnya, Kurniawarman mengatakan ada mekanisme kedua yang bisa pemerintah tempuh untuk pemulihan hak ini.
“Yaitu melalui mekanisme pendelegasian kewenangan hak menguasai negara yang sejatinya dipegang oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), itu diserahkan pelaksanaannya. Didelegasikan pada masyarakat hukum adat. Jadi dia dipulihkan bukan untuk dibagi-bagikan ke orang perorang tapi didelegasikan negara pada masyarakat hukum adat,” katanya.
“Dasar hukumnya adalah pasal 2 ayat 4 UUPA. Itu yang selama ini jarang dibaca atau dipromosikan peluang ini oleh banyak kalangan termasuk pemerintah sendiri. Jadi dengan menggunakan perintah pasal 2 ini hak menguasai negara atas tanah negara bisa didelegasikan ke masyarakat hukum adat,” katanya.
Dalam pasal 2 ayat 4 itu tertulis dua subjek hak yang bisa menerima pendelegasian itu. “Satu masyarakat hukum adat, dua daerah-daerah swatantra atau pemerintah daerah,” katanya.
Posisi KAN dan LAN harus Jelas
“Apa yang dimaksud dengan pemulihan tanah ulayat itu?” kata Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas Profesor Afrizal.
Dia mengatakan yang harus didudukkan adalah definisi tentang pemulihan. Ulayat milik bersama yaitu komunitas nagari. “Berarti kalau tanah itu dipulihkan dia menjadi milik bersama,” katanya.
“Tapi kalau tanah itu kembali tapi kemudian dikuasai oleh masyarakat adat, sementara warga masyarakat lain tidak dapat akses, bagi saya itu bukan pemulihan tanah ulayat, kalau kemudian itu dibagi-bagi dan disertifikatkan jadi milik pribadi. Itu bukan pemulihan tanah ulayat,” katanya.
Selain itu menurut Afrizal negara perlu mendudukkan tentang siapa yang dapat mengelola tanah ulayat itu. Sebab kini juga terjadi persaingan antara Kerapatan Adat Nagari (KAN) dengan Lembaga Adat Nagari (LAN). “Kalau menurut perda lama pemegang otoritas tanah ulayat nagari adalah KAN dan LAN. Pemanfaatannya pemerintah nagari. Klausul ini berpotensi menyebabkan gesekan antara pemerintah nagari dan KAN. Dalam banyak (kasus) yang saya temukan pemerintah nagari banyak mengabaikan KAN karena pemerintah nagari melihat pemanfaatan. Kalau pemanfaatan KAN tidak berwenang,” katanya.
Dia mengatakan harus ada klausul yang lebih jelas ketika tanah ulayat akan dimanfaatkan. Selain itu perlu dipikirkan juga bagaimana relasi antara KAN dan pemerintah nagari.
Zulkifli Legal Consultant Yayasan Ulayat Nagari Indonesia mengatakan pemulihan hak ulayat itu sesuatu yang mungkin terjadi. Pemulihan menurut Zulkifli konkretnya ada recognition atau pengakuan. “Ini selaras dengan Permen ATR/BPN nomor 10 tahun 2021 tentang penatausahaan tanah ulayat,” katanya.
Selain itu Yayasan UNI mencatat bahwa Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan atau hak pakai atas tanah itu ada syarat materiil perolehannya dan hal tersebut tidak ada yang dipenuhi perusahaan-perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat di Sumatera Barat.
Dia menyebut dalam PP 24 tahun 1996 perolehan hak atas tanah itu dapat dilakukan dengan jual beli atau akta jual beli, pelepasan hak tanah oleh negara untuk kepentingan umum, hibah dan tukar guling.
“Lalu kalau kita tinjau perolehan hak atas tanah oleh perkebunan kelapa sawit di sumatera barat itu tidak merujuk pada ketentuan-ketentuan tad. Contoh misalnya di Sumatera Barat perolehan hak atas tanah oleh perkebunan kelapa sawit hanya berdasarkan surat penyerahan tanah ulayat oleh ninik mamak pemangku adat, ini tidak dikenal dalam uu agraria kita sebelum uu ciptaker ada, itu tidak memenuhi syarat materiil atas tanah dan tidak ada dikenal oleh undang-undang kita,” katanya.
“Jadi tidak ada proses FPIC apa akibat hukumnya, di dalam hukum agraria kita tidak dikenal perolehan hak dari penyerahan, yang ada pelepasan hak atas tanah dan itu diatur untuk kepentingan umum boleh oleh negara,” katanya.
Dia menegaskan HGU perusahaan sawit di Sumbar melanggar syarat materiil perolehan hak atas tanah. “Maka secara hukum HGU-nya wajib gugur sehingga alasan pemulihan hak ulayat dapat dilakukan,” katanya.
Perda harus mampu memulihkan tanah ulayat
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Rifai Lubis mengatakan, peraturan daerah tentang tanah ulayat perlu melihat secara utuh kondisi atau fakta sosial dari tanah ulayat di Sumatera Barat. Tujuannya agar substansi perda bisa menyelesaikan berbagai persoalan terkait dengan tanah ulayat.
Rifai mengatakan persoalan yang harusnya jadi perhatian adalah tanah-tanah ulayat yang sudah beralih jadi HGU (hak Guna Usaha) untuk perkebunan. Cerita-cerita masyarakat yang terkumpul mengatakan peralihan dari tanah ulayat ke HGU ini yang banyak sekali tipu muslihat, intimidasi, kekerasan, pelanggaran hukum dan HAM. Karena itu perda ini harus mampu memulihkan tanah ulayat tersebut kepada masyarakat adat pemangku haknya.
“Ada penelitian yang menyebutkan eksistensi tanah ulayat di Sumbar tinggal 18%. Itu terjadi karena proses negaraisasi tanah ulayat menjadi HGU melalui proses yang penuh dg pelanggaran. Jika perda ini hanya mengatur yang 18% tanah Ulayat yang tersisa tersebut, perda ini memberikan impunitas atas berbagai pelanggaran dalam.proses peralihan tanah Ulayat menjadi HGU dimasa lalu.
Karena itu perda ini harus memulihkan tanah-tanah Ulayat yang terlanjur menjadi HGU melalui proses yang sarat dengan pelanggaran, juga memulihkan hak-hal Ulayat di dalam kawasan hutan. “Agar minangkabau tetap punya hutan adat sebagai salah satu harta kekayaan nagari,” katanya.
Terkait dengan ada peraturan daerah kabupaten Kepulauan Mentawai tentang pengakuan dan penetapan Uma sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, perlu ditindak lanjuti dengan pendaftaran tanah-tanah adat oleh BPN.
Teks: Uyung Hamdani, Jaka HB
Foto: Uyung Hamdani, Jaka HB
Editor: Jaka HB